21 Februari 2012

Pagi itu aku ndomblong sendirian di depan gedung sebelah barat. Setelah membantu seorang teman mengerjakan tugasnya, aku kembali duduk-duduk sambil celingukan. Anak-anak angkatan 2009 sebagian besar ada kelas jam 10.30, jadi wajar kalau aku nggak ada temen ngobrol. Sudoku di salah satu surat kabar jadi pelampiasan. Tapi sayang, aku gagal menyelesaikannya dan itu membuatku frustrasi.

Meliriklah aku ke salah satu bilik di gedung tersebut. Pintunya sengaja aku buka sekitar setengah jam yang lalu, biar udara pengap di dalamnya tergantikan dengan udara yang lebih segar. Sekarang ada beberapa orang yang duduk melingkar di dalamnya. Tidak lama kemudian beberapa  orang masuk satu persatu dan bergabung. Pintu pun ditutup.

Sedih rasanya, seperti kehilangan tempat tinggal. Semakin sedih pula ketika aku teringat bahwa ada beberapa urusan yang belum aku selesaikan di bilik tersebut. Aku menyesal tidak dapat melaksanakan tugasku dengan baik. Hasil dari pekerjaanku jauh dari kata baik. Mengecewakan. Aku telah meninggalkan seonggok sampah yang penuh dengan penyesalan.

Aku pun mengirim pesan cinta kepada mantan pimpinan. Penyesalan selalu datang belakangan, itu yang aku sayangkan. Kenapa aku tidak menyadarinya dari awal? Kenapa aku terlalu sibuk dengan kepentinganku sendiri? Sekarang perbaiki, katanya. Sebisa mungkin. Oke, aku akan berusaha.

Mereka bilang kekeluargaan. Namun kami tidak merasa seperti keluarga. Setidaknya aku tidak merasa seperti keluarga. Kekeluargaan sepertinya hanya alasan untuk tidak disiplin dan bekerja semaunya.  Keluarga semestinya kompak. Keluarga itu mendengarkan, berbagi, memahami, dan menerima. Itu idealnya.

Perlu diingat, tidak semua keluarga ideal. Bisa jadi keluarga yang kami jalani selama satu tahun ini broken home. Aku bingung, kenapa kami bisa seperti ini. Dulu kami rajin berkomunikasi, makan bersama layaknya sebuah keluarga. Aku pun mulai menerima dengan pasrah pekerjaan yang tidak aku sukai itu. Namun sesuatu terjadi. Entah karena bosan atau telah menemukan keluarga lain yang lebih menarik. Lalu kami jadi seperti ini. Jarang berbincang. Pergi dengan urusan masing-masing.

Manis di awal. Pahit akhirnya.

Aku tidak berkata bahwa aku tidak bersalah. Bahkan bisa dikatakan aku yang memiliki kesalahan yang paling fatal. Hanya pekerjaanku yang belum beres. Sekarang aku merasa seperti hantu yang kelayapan karena punya unfinished business.

Kalau boleh membela diri lagi, aku akan membawa mereka ke hari di mana aku menolak pekerjaan ini. Bukan karena malas, tapi aku tidak suka birokrasi dan aku sering melakukan prokrastinasi. Mengapa itu bisa luput dari perhatian mereka? Keputusan yang terburu-buru, ku rasa. Opsi yang tidak tersedia dengan imbang. Pekerjaan itu pun aku pikul dengan terpaksa.

Sekarang bisa dilihat hasilnya. Aku mengecewakan banyak orang. Aku mengecewakan diri sendiri. Aku tidak total. Aku terlalu sibuk membenci pekerjaanku sehingga pekerjaan itu sendiri tidak terurus. Udah lah. Pembelaan yang tidak penting, sebenarnya. Pembelaan yang hanya menunjukkan betapa lemah dan sombongnya aku. Padahal akhirnya ya…menyesal kan.

Sekarang sedang aku usahakan. Aku kembali menyentuh berkas yang terabaikan.

Semoga cepat selesai.

Aku nggak mau jadi hantu penasaran.

2 comments:

  1. Replies
    1. YA TUHAN ini komentar bertahun-tahun lalu belum aku balas :((
      Maaf ya hehe
      Sekarang gimana, unfinished business nya udah rampung kan?

      Delete