Biarkan saya menghela nafas berat sekali lagi. Huuffft. Oke.

Biarkan saya menarik nafas dalam-dalam dan mengehembuskannya secara perlahan.

Oke.

Baiklah.

Kembali ke nol.

Saya mulai lagi dari nol. Sudah berbulan-bulan dan saya cuma bergerak dari angka nol dan satu. Ya, walaupun secara teori di antara nol dan satu itu tak terbatas. Saya maju sangat sedikit, lama terdiam di titik tersebut, lalu kembali ke nol karena....

Karena saya nggak yakin titik tersebut ada.


0 - 1

by on July 27, 2014
Biarkan saya menghela nafas berat sekali lagi. Huuffft. Oke. Biarkan saya menarik nafas dalam-dalam dan mengehembuskannya secara perla...
I like to talk about my self. Yeah, you read that right. I feel like I have to explain my behavior or my point of view, well, all of my life. I want you to understand and say something if I do wrong so I can learn form that. But you say nothing. 
"What's wrong with you?"

You didn't say it out loud but  I always can hear it through your nodding head, your wandering  eyes that avoid my eye contact, and the 'hmm' sounds you make.

Then I answer it, though I know it was rhetorical.

Then again, you just nod.

Still, I can hear you say, "What's wrong with you..."

You just sit there, saying nothing and start forgetting.

Then I reach a point that I don't need you. I don't need any of this chit-chat. I don't need you to tell me.

Because you know what? I know that I should stop lying and do things that I said I will do. I know what part of me that need to be fixed. I know that I can't hold on to somebody else beside my self. I know that I fight on my own and I have to fight harder because no one will help me. I know that I should help my self. I know that I should keep my shit together.

I know that you don't care a bit.

Although I know that, I know that eventually I will come to you with a hope that you will understand this time and you will do or at least say something about it. That time, I hope you will tell me something that I don't know because I'm tired of figuring it out by my self.
by on July 24, 2014
I like to talk about my self. Yeah, you read that right. I feel like I have to explain my behavior or my point of view, well, all of my li...
Dua hari yang lalu, saya berkenalan dengan beberapa orang baru. Mereka teman-teman kerjanya teman saya. They seem cool. Seperti biasanya, saat saya belum kenal dekat, saya lebih banyak mengamati daripada menyumbang pembicaraan.

Kami ngobrol seru. Salah satu obrolan kami adalah tentang hubungan lelaki dan perempuan. Lalu ada yang berkata kurang lebih seperti ini, "Cewek emang kudu hati-hati. Hati-hati dengan apa yang kamu tawarkan kepada laki-laki." Dia menjelaskan, misalnya pasangan yang sudah menikah merayakan hari jadi mereka. Untuk merayakannya, sang istri menggunakan lingerie. Katanya, jika sekali sang istri menggunakannya, untuk malam-malam berikutnya sang suami pasti akan menuntut istri untuk memakai lingerie. "Cowok nggak bisa mundur," tambahnya.

Saya waktu itu hanya manggut-manggut dan ketawa kecil, melihat kenyataannya memang ada yang seperti itu. Lalu ia menambahkan lagi, "Jadi, kalau cowokmu nakal, jangan salahin dia. Tapi salahin mantannya hahaha.."

Saat itu saya kembali ikut tertawa.

Saya tidak terlalu memikirkan itu sampai tadi saya bicarakan sama teman-teman saya yang lain. Waktu itu saya cuma cerita saja.

Lalu di jalan pulang, barusan saja, it hits me.

Kenapa cewek yang disuruh berhati-hati dalam 'menawarkan' sesuatu ke cowok, seolah-olah jika terjadi sesuatu maka kesalahan ada di pihak yang 'menawarkan'? Emangnya apa sih yang cewek tawarkan? Apakah cewek benar-benar 'menawarkan' atau cowok aja yang merasa 'ditawarkan' sesuatu oleh cewek?

Itu bikin saya keinget tentang victim blaming  di kasus-kasus perkosaan. 

Kalau memang sudah menjadi pasangan, tidak bisakah pasangan bernegosiasi tentang apa yang mereka lakukan? Kalau ceweknya nggak mau, haruskah cowok maksa terus sampai ceweknya mau? Setidaknya cewek punya alasan kalau nggak mau. Kan bisa saling komunikasi, membicarakan alasannya apa dan lain sebagainya. Bukannya cowok juga manusia, yang seharusnya bisa belajar mengendalikan diri mereka?

Hih. Saya kok selalu punya pertanyaan. Ada yang bersedia menjawab?

Secara fisik, cowok dan cewek memang dua makhluk yang berbeda. Hormon turut mempengaruhi apa yang terjadi di otak kita. Cewek mikirnya beda sama cowok. Beberapa memahami jenis kelamin lain, beberapa tidak.

Nggak semua cowok seperti itu. Nggak semua cewek seperti ini. Tergantung. Semuanya tergantung kepribadian masing-masing orang, masing-masing hubungan, dan masing-masing yang lain-lain Hah. Jawaban yang membosankan ya. Tapi memang itu sih jawabannya. Tergantung.

***
Pembicaraan ini mungkin cuma gojek. Buktinya yang ngomong ketawa, saya pun juga ketawa. Obrolan yang mungkin tidak scientific. Bercanda aja. Nggak usah terlalu dipikirkan.

Ya Tergantung Sih...

by on July 22, 2014
Dua hari yang lalu, saya berkenalan dengan beberapa orang baru. Mereka teman-teman kerjanya teman saya. They seem cool. Seperti biasanya, ...
Aku adalah anak yang patuh peraturan. Aku ingat, aku sangat ketakutan saat aku lupa mengerjakan PR untuk yang kedua kalinya. Kali pertama aku menyadari saat masih berada di rumah sebelum berangkat sekolah, sehingga ada waktu untuk mengerjakannya. Tapi yang ini aku baru menyadari ketika bel masuk telah berbunyi. Aku ketakutan. Guru kelasku terkenal galak.
 
Aku mengeluarkan lembar kerja siswa (LKS) dan membuka halaman yang dijadikan PR. Aku berkeringat dingin. Jantungku berdegup kencang saat melihat halaman yang masih kosong. Aku tidak mau dimarahi. Aku tidak mau malu.
 
Dengan perasaan cemas, aku mencuri-curi kesempatan untuk menuliskan jawaban di lembar kerja siswa. Dalam hati aku berharap PR itu tidak akan diperiksa. Ternyata harapanku tidak terkabul. Guru berjalan, memeriksa PR dari meja satu ke meja lainnya.

Akhirnya Guru sampai di mejaku. Aku tidak berani menatapnya. Guru berhenti tepat di samping mejaku dan mencondongkan badannya. Aku tidak menyodorkan PR ku yang tidak selesai tersebut, tapi aku biarkan tanganku tidak menutupi halaman LKS tersebut agar Guru tetap bisa melihatnya. Aku menunduk. Genggamanku pada pensil terasa licin

Lalu Guru menegakkan badannya kembali dan menuju ke meja lain.

Tanpa berkata apa-apa. Hanya melihat PR ku sekilas saja.
 
Apa ini, aku tidak dimarahi? Aku tidak mendapat masalah?
 
Aku merasa lega. Tapi kemudian ada rasa cemas yang tiba-tiba menyusul. Aku kawatir kalau teman-teman tahu dan melaporkannya kepada guru.

Lalu aku memutuskan untuk diam saja. Sampai Guru meneruskan pelajaran yang tidak berkaitan dengan PR itu.

Pe Er

by on July 19, 2014
Aku adalah anak yang patuh peraturan. Aku ingat, aku sangat ketakutan saat aku lupa mengerjakan PR untuk yang kedua kalinya. Kali pertama ...
Dulu ada pohon talok di depan rumah sobat saya, tepatnya di seberangnya. Pohon talok itu terletak di tengah petak tanah di samping gardu dan meja ping pong milik RT kami. Tempat yang sempurna bagi sebatang pohon untuk kami jadikan lahan bermain.

Pohon talok itu memiliki tiga cabang yang menjulur dari batang utama. Satu ke arah selatan atas dan dua ke arah utara. Cabang yang ke arah utara ada yang ke atas, ada pula yang cenderung menyamping. Kami sering kali memanjat pohon yang tidak tinggi tersebut di waktu bermain kami.

Di atas batang pohon talok itu kami sering berimajinasi, berandai-andai bahwa kami merupakan kelompok petualang atau pahlawan pembasmi kejahatan dan pohon tersebut adalah markas kami. Sesekali kami juga bermain peran.Tidak jarang aku dan Cinul berebut untuk menjadi tokoh pahlawan super perempuan. Salah satunya adalah Ranger Pink. Biasanya, aku yang keras kepala ini yang mendapatkan peran tersebut. Aku tidak mau mengalah. Padahal aku yang lebih tua. Cinul pun hanya patuh saja dengan muka masam.

Tidak hanya sebagai markas saja. Pohon talok itu pernah kami jadikan sebagai suatu wahana permainan yang seru. Cara memainkannya mudah. Panjat saja, duduk di salah satu batangnya, dan goyangkan diri sehingga batang pohon pun ikut bergoyang. Begitu saja. Kami sering dimarahi orang dewasa yang melihat karena ditakutkan kami akan jatuh dari batang tersebut. Setelah dimarahi, kami berhenti. Tapi setelah orang tersebut pergi, kami pun kembali melakukannya.

Terkadang, kami hanya memanjat saja dan bersantai di atasnya. Menikmati semilir angin dan teduh dedaunannya. Teman-teman lain kadang-kadang memetik buahnya. Aku tidak suka memakan buah talok. Wanginya saja kadang membuatku mual. Tapi aku menyukai pohon talok. Walaupun aku kadang mengernyit ketika mencium bau buah talok, aku tetap tidak beranjak dari pohon tersebut.

Lalu suatu hari, pohon itu ditebang. Atau pohon itu mati secara perlahan. Aku tidak tahu. Aku tidak ingat. Sehari aku memanjat pohon tersebut, lalu sehari pohon itu tidak ada.

Tempat bermain kami ada beberapa. Tapi tak ada yang seseru pohon talok itu.

Pohon Talok

by on July 18, 2014
Dulu ada pohon talok di depan rumah sobat saya, tepatnya di seberangnya. Pohon talok itu terletak di tengah petak tanah di samping gardu d...
Penasaran gimana saya waktu kecil? Ini dia fotonya.


Pardon my messy desk.

Gimana aksi noleh-ke-kamera saya? Asik kan? Hahahaha

Itu waktu saya ke Dufan bersama keluarga besar saya. Kalau nggak salah itu di dalam wahana istana boneka. Saya suka wahana tersebut karena banyak boneka yang dipajang dan dengan duduk di atas kereta air, kita bisa melihat-lihat boneka sambil diiringi lagu yang menyenangkan. Padahal nggak tahu deh lagu apaan. Seru rasanya. Kayak di istana beneran dan boneka-boneka tersebut adalah raja, ratu, pangeran, dan putrinya. Saking senangnya dengan istana tersebut, saya sampe pengen ngantri lagi buat masuk.

Waktu itu saya pertama kalinya ke Dufan alias Dunia Fantasi itu. Berhubung saya masih kecil, saya nggak naik yang horor-horor-menegangkan. Tapi saya juga bingung kalau ditanyain mau masuk wanaha apa karena saya nggak tahu mau masuk wahana apa dan yang mana duluan. Wah, ternyata sedari kecil sudah ada bibit nggak cepat ngambil keputusan.
"Kenapa pake H? Kan jadinya Dihita. Hey, Dihita! Dihita"

Dhita sebal. Sebal sama seorang paman tetangga yang sering mengajaknya bercanda dengan mengolok-olok namanya. Kenapa sih orang dewasa suka menggoda anak kecil? Dikata anak kecil nggak punya perasaan?

Nama lengkapnya adalah Arnindhita Lei Sugiarto. D-nya pake H. Begitu yang tertulis di akte kelahirannya, begitu pula yang selalu dikatakannya ketika ditanya namanya. Kata Papa nya, DH adalah ejaan dalam Bahasa Jawa yang cara bacanya adalah melafalkan huruh D dengan mantap, dengan lidah dihentakan dari langit-langit mulut. Sedangkan dalah Bahasa Jawa, D tanpa H dilafalkan dengan lidah dihentakan di gigi.

(Leres mboten, dek Amenk? Hihihi)

Dhita mencoba untuk menjelaskannya kepada paman tersebut, tapi tetap saja paman itu terus memanggilnya 'Dihita'. Tentu itu membuat Dhita kesal.

Tidak hanya itu saja yang membuat Dhita kurang menyukai namanya. Teman-temannya memiliki nama-nama yang indah, yang memiliki arti. Seperti Sekar, yang berarti bunga. Ika, yang berarti pertama karena dia anak pertama. Sedangkan namanya, tidak ada artinya. Ada temannya yang di sekolah dipanggil Dita, lengkapnya Anindita, yang berarti sempurna atau unggul. Kalau Arnindhita? Kenapa harus menyisipkan huruf R dan H di antaranya?

Tidak ada yang bsia menjawab pertanyaan Dhita tentang namanya. Saat bertanya kepada kakaknya pun, malah dijawab

"Masih mending Arnindhita. Tadinya kamu mau dinamain Arnindhito lho."

Hee?

Karena nama Dhita tidak ada artinya, nggak jelas, dan sering diolok-olok paman tetangga yang menyebalkan, Dhita juga sempat berpikir akan mengganti namanya. Ia bersikeras mengganti namanya menjadi....Dea Ananda.

Iya, Dea Ananda. Nama yang sama dengan penyanyi idolanya itu. Dhita berpikir, Dea Ananda pastilah nama yang bagus. Dia cantik. Dia bisa bernyanyi. Terlebih lagi dia terkenal di mana-mana. Siapa anak kecil pada jaman itu yang nggak kenal Dea Ananda? Dengan mengganti nama menjadi Dea Ananda, dia nggak akan diolok-olok lagi.

"Pokoknya aku nggak mau namanya Dhita, maunya Dea Ananda!!"

***

Anak-anak sangat mudah untuk terdistraksi oleh lingkungan sekitar. Anak-anak sering menghampiri sesuatu yang baru dengan seketika dan langsung melupakan apa yang sedang dia lakukan sebelumnya. Sama seperti Dhita. Tidak lama, protesnya kepada orang tua yang memberikan nama tanpa arti yang jelas ia lupakan. Ia terbiasa dipanggil Dhita dan itulah yang melekat di dirinya. Ia pun tidak pernah lagi berpikir untuk mengganti namanya menjadi Dea Ananda. Bahkan setelah itu ia berpikir bahwa idenya sangat bodoh dan konyol.

Saat itu Dhita tidak tahu bahwa ia akan mencintai nama lengkapnya ketika beranjak dewasa. Saat itu ia memang menganggap nama harus mempunyai arti, entah arti dalam Bahasa Jawa, Bahasa Yunani, atau bahasa apapun tapi ia belum tahu bahwa dia sendirilah yang akan memberi arti pada namanya sendiri. Sesuka dia, sebebas dia, dengan apa yang dia lihat di dalam dirinya sendiri.

Saat ia tahu, ia akan mencintai namanya seperti ia mencintai dirinya sendiri dan tidak akan sudi untuk menggantinya walau satu huruf saja.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kisah ini 99% nyata.
Sekarang , kecintaan terhadap nama saya sudah sedikit dibawah tahap narcissistic hahaha.
Apalagi di era jejaring sosial begini, nama depan saya sering available kalau saya jadikan username.
 :))

Arti Sebuah Nama

by on July 17, 2014
"Kenapa pake H? Kan jadinya Dihita. Hey, Dihita! Dihita" Dhita sebal. Sebal sama seorang paman tetangga yang sering mengajak...
Susah, nulis pake sudut pandang orang ketiga! :(
*mutung*
Rasanya kalau nggak panjang banget, nggak bisa gitu dan kalau nggak fiksi banget jadi kurang detail di sana sini. Ah. Yo wis. Mungkin bakal ada beberapa yang begitu, ada yang beberapa seperti post saya yang seperti biasa.

Apa gunanya post ini? Untuk klarifikasi alias cari-cari alasan biar nantinya nggak dibilang inkonsisten. Eh, enggak inkonsisten sih, tapi dinamis :p
*mengelak*

Lalala Yeyeye

by on July 17, 2014
Susah, nulis pake sudut pandang orang ketiga! :( *mutung* Rasanya kalau nggak panjang banget, nggak bisa gitu dan kalau nggak fiksi ba...
Pada suatu sore, di salah satu komplek perumahan yang jauh dari pusat kota, tampak seorang gadis cilik berjalan menghampiri salah satu pagar rumah. Usianya sekitar 8-9 tahun. Beberapa kali ia menyisir poninya ke samping dengan jemarinya. Langkahnya bersemangat, membuat rambut pendeknya memantul-mantul di atas pundak. Setelah sampai di depan pagar hitam setinggi 1,5 meter, ia berhenti. Ia berjinjit di depannya sambil berpegang ke jeruji pagar tersebut.

"Cinuuul!"

Ia meneriakkan nama temannya. Sebelum ada sahutan dari dalam rumah, ia tidak berhenti memanggil.

"Cinuuuuul!"

"Iyaaa!"

Tampak seorang gadis cilik yang jangkung keluar dari pintu rumah. Di belakangnya ada ibunya yang jangkung pula. Setelah bertanya ke mana mereka akan bermain, ia mengingatkan untuk tidak bermain jauh-jauh dan pulang sebelum maghrib. Dua gadis kecil itu lalu berpamitan dan segera berlari menuju mushola. Bukan, mereka bukan mau beribadah. Mereka mau bermain di halamannya.

Mushola tersebut terletak di tengah komplek perumahan. Anak-anak penghuni perumahan tersebut biasa berkumpul dan bermain di halamannya, terkadang kalau tidak ada orang dewasa di sekitarnya, mereka juga bermain di dalam mushola. Supaya semua bisa berkumpul, mereka sering menghampiri rumah masing-masing anak dan memanggil nama mereka. Beberapa dari mereka kadang-kadang membawa sepeda dan memarkirkannya pinggir halaman tersebut.

Berbagai permainan mereka lakukan, tergantung dari mood mereka. Mau main apa sekarang? Pertanyaan itu sering memulai sore mereka yang seru. Terkadang mereka bermain lompat tali, engklek, atau sepedaan keliling komplek. Kalau jumlah anak yang berkumpul banyak, kadang mereka bermain gobak sodor.

Mereka bermain dengan bebasnya. Tertawa-tawa dan berlari-lari seolah energi mereka tidak ada habisnya. Tidak jarang pula mereka bersiteru satu sama lain karena ada yang dianggap curang atau ada yang merasa jengkel karena anak yang lain menginjak kakinya terlalu keras saat bermain Donald Bebek. Beberapa kejadian diakhiri dengan maaf-maafan, beberapa kejadian terlupakan begitu saja, dan beberapa kejadian lainnya masih membekas di keesokan harinya sehingga mereka tidak mau bermain bersama selama beberapa waktu.

Setelah langit biru sudah berubah menjadi oranye, mereka telah kelelahan. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Tak jarang mereka pulang dengan badan kotor atau luka di lutut mereka. Beberapa dari mereka dimarahi oleh ibu masing-masing lalu disuruh cuci kaki yang bersih atau mandi lagi sekalian. Walau begitu, tetap saja ibu-ibu tersebut mengizinkan mereka untuk bermain di sore berikutnya. Dan tetap saja, anak-anak akan pulang dengan baju penuh peluh dan hati yang gembira di sore berikutnya.

Sore-sore

by on July 15, 2014
Pada suatu sore, di salah satu komplek perumahan yang jauh dari pusat kota, tampak seorang gadis cilik berjalan menghampiri salah satu pag...
Hi there! Miss me much? ;)

Beberapa hari belakangan, Jogja diguyur hujan setiap harinya. Mendung yang nggak ada habisnya menggantung dan bergerak dengan lambat dari langit daerah utara, ke selatan, lalu ke barat, ke utara lagi, dan seterusnya. Dingin banget di rumah saya. Mandi pagi jadi nggak wajib lagi kecuali kalau mau pergi. Yah, itung-itung hemat air.
Dingin-dingin gini enaknya ngapain ya? Karena lagi puasa, saya nggak bisa mencari kehangatan dari isi mug biru kesayangan saya. Wah, teman-teman yang nggak puasa mungkin malah lagi makan bakso atau indomi rebus atau sop atau... *ngiler*. Mungkin lagi pada bobok siang sambil selimutan. Angetnya bed cover bikin tidur lebih nyenyak di suasana seperti ini. Tapi jangan pada selimutan sama pacar ya. Kalau putus, nanti kalian susah. Karena kata temen saya, kalau sudah 'kelon' nanti bakal susah move on.

***

Padakacarma dan Kaca kembali membuat satu acara nulis seru-seruan. Kali ini selama 7 hari, kami harus menulis karya yang bertemakan masa kecil kami. Acara ini terinspirasi dari kunjungan kami hari Minggu lalu ke rumah penulis novel Nawung yang terletak di daerah Prawirotaman. Di novel tersebut, mbak Galuh Larasati sedikit banyak melibatkan pengalaman nyatanya di suatu kisah tentang seorang gadis pemalu dari Jawa.

Seperti Selapan Nulis kemarin, acara tulis-menulis ini juga punya nama...secara informal. Hahaha. Waktu tanya saya Imas, ada yang menyebut ini 7 Hari Ngimcil atau 7 Dina Ngimcil. Tapi saya nggak mau pake kata ngimcil ah. Kesannya negatif, walau saya sering mengucapkan kata itu sebagai olok-olok, tapi nggak mau ah kalau pake buat acara ini hehehe. Jadiiii saya putuskan untuk memberi label Memori 7 Hari di setiap post tentang masa kecil saya. Mungkin setelah masa kecil, saya akan nulis tentang masa remaja. Atau masa kecil itu juga termasuk masa remaja? Ah, kita lihat saja nanti.

**UPDATE**

7 Hari Ngimcil itu ternyata singkatan 7 Hari Mengisahkan Masa Kecil. Oke lah~ Tak ganti judul sama labelnya ya hehehe :D

Selama 7 hari saya akan mengubek-ubek memori saya, mencari detail-detail yang menarik untuk saya tulis dan kalian baca. Rencannya, saya kan nulis dari sudut pandang orang ketiga. Hitung-hitung belajar nulis fiksi dari sudut pandang orang ketiga.

Harusnya tulisan ini saya upload kemarin, sehingga saya nggak ketinggalan satu hari. Tapi katanya nggak apa, saya cukup menulis dua tulisan hari ini untuk mencapai garis finis di hari yang sama.

Oke oke. Selamat membaca! :D

"Aku mungkin sedikit bodoh," kata Herbert. "Tetapi, rasanya rencanamu belum siap sepenuhnya." 
 
"Kau tidak bodoh," protes Allan. "Mungkin sedikit, tapi dalam hal ini, kau benar sekali.
 Semakin kupikirkan, semakin aku merasa kita harus membiarkannya saja,
dan kau akan lihat segalanya akan berjalan dengan semestinya karena itulah yang biasanya
terjadi--bahkan hampir selalu."



The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappear
a novel by
Jonas Jonasson
Saya nggak suka kalau ada asap rokok di sekitar saya. Saya nggak suka menemukan orang yang ngerokok di tempat yang seharusnya bebas dari asap rokok, misalnya sekolahan, kampus, tempat-tempat ber-AC, atau tempat-tempat yang jelas-jelas ada tulisannya DILARANG MEROKOK.

Tapi tenang, saya juga bisa beradaptasi. Kalau memang tempat yang saya kunjungi sudah biasa ada asap rokok/diperbolehkan merokok, maka saya nggak berhak jengkel. Misalnya kayak cafe yang menyediakan asbak, tempat main bilyard yang ber-AC tapi menyediakan asbak (I can't understand this logic), intinya tempat-tempat yang menyediakan asbak = boleh merokok.

Asap rokok membuat saya batuk. Bukan hanya asapnya yang mengganggu kesehatan, tapi aroma nya juga nggak enak. Ada aroma asap rokok yang sangat mengganggu, tapi ada pula yang wanginya agak ringan sehingga bisa saya toleransi.

Saya pernah membicarakan rokok dengan teman-teman. Salah satu teman berkata bahwa cowok yang menikmati rokoknya itu keren. Saya dulu nggak paham, apanya yang keren? Apa bunuh diri perlahan itu keren?

Tapi, kemarin saat saya melihat adegan ini dengan slow motion...



....kini saya paham.

Btw, gif di atas kurang ada feel-nya. Mungkin yang bikin keren adalah slow motion dan background musik nya. Plus, akting nya si Nico Mirallegro yang keren. Itu yang bikin saya meleleh gemes.

Smoking Hot!

by on July 05, 2014
Saya nggak suka kalau ada asap rokok di sekitar saya. Saya nggak suka menemukan orang yang ngerokok di tempat yang seharusnya bebas dari a...
Tadinya, saya pikir membiasakan diri untuk menulis blog setiap hari akan menulari kebiasaan untuk menulis yang lain-lain. Skripsi, misalnya. Ngefek sedikit, saya rasa. Tapi nggak banyak. Hahaha

Anyway, saya senang mengikuti seru-seruan kayak Selapan Nulis ini. Apalagi tidka bertema dan tidak ada ketentuan khusus. Tulisan bebas. Rasanya jadi lebih mudah untuk berekspresi lewat tulisan. Walaupun saya lebih sering curhat sih. Hehehe. Hitung-hitung buat menghidupi blog. Kalau nggak ada ini mungkin blog saya sudah tercampakan, sama seperti yang dulu pernah saya lakukan. Tapi saya nggak mau kayak gitu lagi. Mungkin setelah Selapan Nulis ini saya akan menulis blog setidaknya seminggu 1-2 kali.

***

Selapan Nulis merupakan salah satu, apa ya, kalau bisa dikatakan acara maka ini adalah salah satu acara yang diadakan Padakacarma untuk memantik keajegan anggota-anggota nya dalam kegiatan menulis.

Padakacarma adalah jebolan dari reporter-reporter Kaca. Saat dulu menjadi reporter Kaca, yang tentu saja kerjaannya tidak jauh dari dunia tulis menulis. Namun kegiatan Padakacarma sendiri lebih organisasional, seperti mengurus seleksi Kaca, membantu Mas Agung dalam membimbing Kaca, dan mengadakan berbagai acara yang berkaitan dengan remaja. Dengan latar belakang reporter, nampaknya Padakacarma kurang produktif dalam dunia kepenulisan. Maka dari itu, teman-teman pengurus Padakacarma mengajak prakanca (sapaan untuk teman-teman) untuk menulis setiap hari selama 35 hari, tidak lain tidak bukan, Selapan Nulis/Selapanan Nulis/Selapan Nulis Fun.

Yak. Disini lah saya. Mengakhiri Selapan Nulis. Ada 38 tulisan, karena saya bolong 3 hari, jadi totalnya 38 post. Ada yang panjang, ada yang agak serius, tapi ada pula yang main-main. Nggak apa deh, kan temanya bebas. Mungkin lain kali saya bakal lebih serius lagi dalam nulis.

Sudah selesai!

Horee! Saya lulus! \( > u <)/


Selapan Nulis

by on July 05, 2014
Tadinya, saya pikir membiasakan diri untuk menulis blog setiap hari akan menulari kebiasaan untuk menulis yang lain-lain. Skripsi, misalny...
Saya sempat kerja part time di Lir. Mungkin selama 3-4 bulan, saya kurang ingat. Banyak pengalaman yang saya ambil. Selama di sana saya ngerasain seneng, sedih, sebel, tapi seneng lagi hahaha. Setelah beberapa bulan di sana, saya memutuskan untuk menyudahi masa part time saya karena saya mau fokus skripsi.

Tapi kok saya nggak fokus-fokus juga ya. Berarti faktornya ada di saya, bukan di kegiatan saya :v

Anyway, setelah nggak part time di sana lagi, sampai sekarang saya belum pernah ke sana lagi. Beberapa kali mau mampir, tapi ntah pas di jalan malah mampir ke tempat lain atau lupa terus malah langsung balik ke rumah.

Saya kangen Lir. Pekerjaan saya di sana memang hanya menyapu, masak, mencuci piring, bikin minuman, dan buka-tutup toko, sesuai jadwal saya. Tapi saya bisa ya, kangen. Padahal saya bisa aja bersih-bersih dan masak di rumah.

Saya kangen Lir. Suasana di sana nggak ada yang ngeduain. Sepi. Nyenyet. But it's a good type of quiet. Tenang. Bikin ngantuk, kadang-kadang. Tempat mana yang sesepi itu, tapi kamu menikmati kesepian tersebut? Bukan untuk mikir, bukan untuk mengerjakan sesuatu. Tapi untuk relaxing. Untuk menikmati kesunyian yang menyenangkan.
Saya kangen Lir. Coba, cafe mana yang nawarin makanan dan minuman yang terinspirasi dari novel atau cerita? Di Jogja, mungkin cuma Lir.

Aaaaakk saya kangen Lir.

Pertama kalinya saya ke Lir. Sama Kikin. Tahun 2011.

Kangen Lir

by on July 05, 2014
Saya sempat kerja part time di Lir . Mungkin selama 3-4 bulan, saya kurang ingat. Banyak pengalaman yang saya ambil. Selama di sana saya n...
Saya suka musik. Semua orang suka musik. Cuma nggak semua seleranya sama. Ada yang suka mendengar genre musik tertentu saja, ada yang suka karena yang nyanyi ganteng, ada yang suka karena mengingatkan mereka pada sesuatu, dan lain sebagainya, alasannya sangat beragam.

Baru-baru ini saya nostalgia dengan musik 90-an. Gara-gara nonton My Mad Fat Diary yang ber-setting di UK tahun 1996, otomatis background musik nya juga tahun segitu. Saya pun menemukan nama-nama band yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Salah satunya The Charlatans.

Ini dia lagunya yang lagi saya taksir. Judulnya One to Another.


Musiknya bikin semangat dan bikin pede! Kayak-kayak kita lagi mau beraksi, go out and kick ass!

Hehehe

Besok sebelum garap skripsi harus dengerin ini dulu nih :))

Oke, lain kali saya tulis lagi tentang musik yang saya suka. Saya tipe orang yang bisa dengerin semua genre asal saya suka, nggak ada tipe genre tertentu sih. Ada masa ketika saya suka lagu tahun 50,60,70 an. Ada masanya saya suka lagu ajeb-ajeb, kayak lagu dance gitu. Ada masanya pula ketika saya suka lagu emo. Ketika saya lagi suka sama genre tertentu, bukan berarti saya suka semua lagu/band/penyanyi dengan genre tersebut. Kita tahu lah, seorang penyanyi aja ada lagunya yang kita suka, ada yang enggak. Apalagi di genre yang lebih luas. Itu semua tergantung sama selera kita masing-masing.

Jadi, lagi pada suka musik apa nih? :)

Music!

by on July 04, 2014
Saya suka musik. Semua orang suka musik. Cuma nggak semua seleranya sama. Ada yang suka mendengar genre musik tertentu saja, ada yang suka...
Saya nggak suka dibilang mainstream. Kenapa ya?

....bersambung

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebenarnya saya pengen ngelanjutin cerita minggu lalu, yang saya pergi ke Nglanggeran. Tapi karena foto-foto nya nggak ada di saya, jadi saya tunda dulu ya.
Salam!
Peace, love, and be yourself!
Nulis apa ya....

Hari ini saya marathon My Mad Fat Diary. Karena settingnya di Inggris, saya senang dengerin aksennya yang kaku-kaku gimana gitu hihihi. Saya lebih sering nonton serial tv US, jadi serial ini cukup memberi angin segar di koleksi series saya.

Seperti yang saya tulis kemarin, My Mad Fat Diary ini tentang gadis berumur 16 tahun yang baru saja keluar dari rumah sakit mental. Kalau kita lihat, umur 16 tahun di Indonesia itu baru bisa apa jal? Di Jogja aja deh. Kalau saya dulu, umur 16 masih polos, kegiatannya sekolah dan les. Ya mungkin saya yang cupu aja sih. Tapi kalau dibandingkan orang Barat, wow, umur 16 di sana kehidupan sosialnya kayak umur 20 di sini. Sekali lagi ini perbandingan pribadi saya ya, karena waktu remaja saya cupu sekali.

Kapan-kapan nularin temen buat nonton ini ah.

Apa?

by on July 02, 2014
Nulis apa ya.... Hari ini saya marathon My Mad Fat Diary. Karena settingnya di Inggris, saya senang dengerin aksennya yang kaku-kaku g...
Rae! Rae, look at me.
Whatever situation you find yourself in, there is always, always, always a way out.
(Kester)

 
Saya baru saja nonton serial tv tentang remaja yang baru saja keluar dari rumah sakit mental. Lumayan bagus. Lucu, ironis, dan penuh dengan drama. Agak-agak berbau psychology, tapi nggak tahu ya kalau menurut orang lain, menurut saya setiap drama itu berbau psikologi. Hahaha

Akhir-akhir ini saya bertanya pada diri saya. Apa mau saya? Buat apa saya belajar psikologi? Apakah saya masih ingin jadi psikolog? Apa saya punya bakat untuk jadi psikolog?

Rasanya...saya pengen booking beberapa sesi ke psikolog. Yang beneran, bukan yang lagi garap tugas S2. Yang rasanya, karena saya bayar dan saya adalah pasiennya, dia nggak akan angkat tangan saat menghadapai saya. Saya penasaran apa yang akan saya dengar dari psikolog tersebut. Saya juga penasaran, apa yang akan saya ceritakan kepadanya.

Mungkin lain kali, kalau saya punya uang.

Mungkin lain kali, kalau saya merasa benar-benar membutuhkan.

Mungkin lain kali, kalau saya lagi pengen iseng dan nggak ada yang menghalangi saya untuk melakukan apa yang saya inginkan.