Potato? Potato.

Why’s everyone getting hotter while I’m right here not getting any close to any kind of hotness that I thought I had back then, standing here with potato face and potato body and undeclared eternal love for potatoes.....yeah that’s why, it’s because I love potatoes.

-

Biasanya setiap ketemu sama kenalan, aku selalu punya perasaan takut nggak dikenali dan lebih memilih untuk cuek daripada menyapa. Tapi kalau aku yakin bahwa orang itu pernah menyadari eksistensiku di satu titik dalam hidupnya dan sebaliknya, aku selalu berusaha untuk menyapa. Setidaknya ketika aku sedang merasa percaya diri. Atau sedang pura-pura percaya diri.

Suatu pagi menjelang siang, aku bertemu dengan teman lama setelah sekian tahun nggak bertatap muka. Setelah liat-liatan selama sepersekian detik, kami sama-sama mengenali satu sama lain dan mulailah basa-basi sambil senyum-senyum senang. Aku sih, yang senyum-senyum senang, karena dia adalah salah seorang teman yang seumur hidup nggak akan pernah aku lupakan. Hahaha

Setelah bertukar kata nggak lebih dari semenit, dia pun pamit pergi karena tempat itu terlalu ramai dan dia memilih untuk datang lagi di lain waktu. Sesaat setelah itu, aku mbatin...

He does well. He seems that he successfully put himself together. And also, damn, he looks so fresh, sleek, and so f***ing good!

Lalu saya menatap diri saya sendiri dan muncullah pikiran berupa paragraf pertama dari tulisan ini.

Semua orang yang aku temui rasanya memiliki kabar yang baik. Entah secara fisik yang terlihat semakin kece atau prestasi-prestasi mereka yang tambah kece banget. Terus aku mikir.

Adakah kabar baik dariku yang bisa aku sampaikan ketika bertemu dengan kawan lama?

Sorot balik ke satu-dua tahun yang lalu...

Kondisiku waktu itu yang mungkin tidak seperti bayangan orang-orang tentangku empat tahun sebelumnya terasa seperti....aib. Ketika ditanya lagi sibuk apa atau bekerja di mana sekarang, saat menjawabnya selalu ada secuil perasaan bersalah yang diiringi hembusan nafas dalam. Apapun yang aku katakan, entah ‘alhamdulillah, baik’ atau ‘masih di sini aja’ atau ‘ya, lumayan, ada progres’ atau bahkan ‘hahahahaha’ dan atau-atau lainnya, sepotong beban itu selalu aku rasakan menekan pundakku, secara konstan berputar di dalam otak ku, menempel di dalam dadaku, bersarang tepat di atas jantungku.

Lalu sesuatu terjadi.

Menerima diri sendiri dan segala hal yang berkaitan dengan diri ternyata memang membutuhkan orang lain. Se-ngeyel-ngeyel nya kamu, bahwa kamu bilang kamu tidak butuh orang lain untuk ini, ada titik tertentu di mana kamu merasakan ringannya tubuhmu saat orang lain menyadari, berusaha memahami, dan/atau/lalu menerima diri kamu apa adanya.

Rasanya....bebas.

Rasanya semua memang baik-baik saja. Rasanya semua memang akan baik-baik saja, selamanya, apapun yang dihadapi nanti pasti akan dilewati dan berakhir baik-baik saja. Rasanya aku memang bisa melakukan apa saja kalau didasari kebulatan tekad. Rasanya aku memang mampu, tidak hanya diucapanku saja dan tidak hanya diucapan orang lain saja, tapi aku memang mampu.

Aku tidak yakin perasaan ini akan bertahan selamanya. Sekarang, ketika aku merasa hampir putus asa dan tidak bertenaga, aku lalu mengingat-ingatnya dan aku pun merasakan sengatan-sengatan kecil semangat yang membuatku terjaga dari kebosanan dan kemalasan. Kadang nggak mempan sih, tapi di kadang-kadang yang lain itu cukup membuatku semangat.

Selain itu, saat aku baca tulisan yang dulu aku tulis dan aku tujukan kepada diriku di masa kini maupun masa depan ternyata bisa bikin.........aaaakkk kata 'semangat' nggak cukup buat mendiskripsikannya! Semangat campur terharu campur geli campur takut tapi senang hahahahaa.

Dan kamu tahu, siapa orang-orang yang bisa membuatmu merasa berapa beban yang kamu rasakan benar-benar terangkat dari pundakmu barang sejenak? Siap-siap terkejut, karena kalau kamu seperti aku, orang yang kamu bilang tidak kamu anggap dekat dan kamu pikir tidak peduli dengan dirimu, bisa jadi adalah orang yang membuatmu merasa bahwa hidupmu penting dan patut diperjuangkan.

Orang-orang disekitar kita itu memang begitu. Kadang kita pikir mereka penting, kadang kita pikir mereka tidak. Kadang mereka memang penting, kadang mereka tidak.  Kadang kita pikir kita penting bagi mereka, tapi ternyata tidak. Kadang kita pikir kita tidak penting bagi mereka, tapi mungkin ternyata kita penting sekali bagi mereka.

Oke, yang terakhir tadi agak ngarep.

Aku sendiri kurang yakin tentang pikiran orang-orang di sekitarku, terutama keluarga dan teman-temanku, tentang aku. I can be very self concious, most of the times. Rasanya pengen meminjam mata mereka untuk melihat wujud dan perilakuku. Apa aku cukup begini? Apa aku sudah begitu? Mana yang lebih mereka sukai, aku yang begini atau aku yang begitu?

Sekarang aku putuskan untuk menerima saja apa yang mereka pikirkan dan rasakan tentang aku. Aku ingin menerima mereka juga dan tidak banyak tempat untuk menerima orang lain ketika kita belum menerima diri sendiri.

Jadi, ketika aku kembali ditanya kabar dan kesibukan apa yang aku miliki sekarang, jawaban yang aku lontarkan mungkin akan berbunyi sama dengan sebelum-sebelumnya, tapi kali ini, aku percaya bahwa jawabanku adalah usaha untuk menjadi jujur yang bertujuan menjawab pertanyaan semata, bukan untuk membandingkan hidupku dengan orang lain.

Itu sih.

Oh iya, sama aku harus mulai olah raga lagi biar badanku nggak kayak kentang begini.

Dan diet.

Aaaaaaaargh.

4 comments:

  1. Aaaaaakkkk! Ternyata oh ternyata. Kamu tidak sendiri, Mbak. Aku juga habis mengalami hal yang hampir mirip gitu. Ketemu orang, apa kabar, ngapain sekarang dan bla bla bla. Rasanya persis juga begitu. Habis itu mikir, kayaknya aku nggak butuh dinilai, orang lain juga nggak butuh penilaianku. Lakum dinukum waliyadin. Hahahaha. Aaaak sukak gemes kalo baca posting Mbak Dhita yang nyrempet nyawa gini :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uwuwuw kalau gemes coba dicubit pipinya kakak~ :3
      (((nyrempet nyawa))) aku ngakak bacanya hahahahaha kepiye tho maksute ehehe

      Delete