Teman Di Kursi Seberang

No, this post is not about Milo Ventimiglia even though I really really want it to be hahaha


It feels surreal.

Dia di depanku, duduk dengan merapatkan kakinya, kedinginan. Aku tidak tahu pasti apa yang benar dan baik untuk dikatakan, tapi aku tidak bisa menahan senyumku. Aku bahkan melepaskan beberapa tawa kecil dan menggelengkan kepala. Bukan, aku bukan menertawai kisahnya. Hanya saja, aku masih belum bisa percaya.

Apa ini benar-benar terjadi? Kepadanya?

Dan dia memilihku untuk bercerita?

Aku merasa menjadi salah satu tokoh novel teenlit yang dulu sering aku baca. Fiktif, tapi bisa dibayangkan secara nyata. Seperti di antara dua dunia yang melebur dan aku berada di lapisan-lapisan warna-warni dan abu-abu yang kabur. Rasanya aneh dan lucu. Aku tidak bisa memutuskan apakah sendu atau senang yang mengisi dadaku. Rasanya kosong namun juga terasa meluap-luap. Membingungkan. Menggelitik.

Hey hey, ini bukan tentang aku.

Aku kembali menatapnya. Caranya bercerita sekarang lebih bebas, seperti dia yang biasanya, selalu ceria. Apa benar dia selalu ceria? Aku mengingat-ingat saat-saat kami bercakap. Iya, benar kok. Dia selalu ceria. Dia seperti buku yang terbuka, mudah dibaca. Tapi setelah mendengar apa yang ia katakan, aku kembali berpikir. Manusia menunjukkan sisi dari dirinya ke manusia lain sesuai seperti apa yang ia ingin tunjukkan. Apapun yang tidak ingin ia tunjukkan akan tersimpan rapat-rapat dan rapi di suatu tempat di dalam sana.

Aku menghela napas. Aku tersenyum. Ugh. Kenapa aku tidak bisa berhenti tersenyum?

Aku kembali mengenalnya. Aku tahu beberapa hal tentang dia sebelumnya, seperti aku tahu setiap kali kami bertemu selalu muncul perasaan ringan yang menjalar di tubuhku. Dia adalah seorang teman yang bisa membuatmu lupa tentang hal-hal sialan yang kamu alami sepanjang hari hanya dengan lima menit bertemu dengannya. Selalu ada tawa yang dipicu olehnya, yang lalu mengusir dan atau menyertai rutukan-rutukan yang kamu tujukan kepada dunia. Dia orang baik. Dia orang yang menyenangkan. Apapun yang telah dan akan ia katakan kepadaku tidak akan pernah mengubah fakta itu.

Dia bersandar di kursinya.

Binar-kah yang aku lihat di matanya atau aku hanya berhalusinasi? 

Aku bersandar di kursiku.

Aku bersyukur bahwa akulah yang berada di seberang kursinya. Walau beberapa kali aku ingin melompat melewati meja dan memeluknya, tapi itu tidak aku lakukan. Habisnya, aku takut ia tidak nyaman aku sentuh dan aku tidak bisa mengatakan "Hey, apa kamu mau aku peluk?" tanpa terlihat creepy dan sok imut. Jadi. Ya. Tidak ada pelukan malam itu.

Aku bersyukur bahwa akulah yang berada di seberang kursinya. Aku selalu ingin membuatnya merasakan apa yang aku rasakan ketika kami bertukar cerita dan tawa, tapi karena dia terlihat selalu ceria, aku tidak tahu bagaimana membuatnya lebih ceria lagi.

Aku bersyukur bahwa akulah yang berada di sebarang kursinya. Karena kali ini, walaupun hanya sedikit, akulah yang membuat perasaannya lebih ringan.

6 comments: