Sore-sore

Pada suatu sore, di salah satu komplek perumahan yang jauh dari pusat kota, tampak seorang gadis cilik berjalan menghampiri salah satu pagar rumah. Usianya sekitar 8-9 tahun. Beberapa kali ia menyisir poninya ke samping dengan jemarinya. Langkahnya bersemangat, membuat rambut pendeknya memantul-mantul di atas pundak. Setelah sampai di depan pagar hitam setinggi 1,5 meter, ia berhenti. Ia berjinjit di depannya sambil berpegang ke jeruji pagar tersebut.

"Cinuuul!"

Ia meneriakkan nama temannya. Sebelum ada sahutan dari dalam rumah, ia tidak berhenti memanggil.

"Cinuuuuul!"

"Iyaaa!"

Tampak seorang gadis cilik yang jangkung keluar dari pintu rumah. Di belakangnya ada ibunya yang jangkung pula. Setelah bertanya ke mana mereka akan bermain, ia mengingatkan untuk tidak bermain jauh-jauh dan pulang sebelum maghrib. Dua gadis kecil itu lalu berpamitan dan segera berlari menuju mushola. Bukan, mereka bukan mau beribadah. Mereka mau bermain di halamannya.

Mushola tersebut terletak di tengah komplek perumahan. Anak-anak penghuni perumahan tersebut biasa berkumpul dan bermain di halamannya, terkadang kalau tidak ada orang dewasa di sekitarnya, mereka juga bermain di dalam mushola. Supaya semua bisa berkumpul, mereka sering menghampiri rumah masing-masing anak dan memanggil nama mereka. Beberapa dari mereka kadang-kadang membawa sepeda dan memarkirkannya pinggir halaman tersebut.

Berbagai permainan mereka lakukan, tergantung dari mood mereka. Mau main apa sekarang? Pertanyaan itu sering memulai sore mereka yang seru. Terkadang mereka bermain lompat tali, engklek, atau sepedaan keliling komplek. Kalau jumlah anak yang berkumpul banyak, kadang mereka bermain gobak sodor.

Mereka bermain dengan bebasnya. Tertawa-tawa dan berlari-lari seolah energi mereka tidak ada habisnya. Tidak jarang pula mereka bersiteru satu sama lain karena ada yang dianggap curang atau ada yang merasa jengkel karena anak yang lain menginjak kakinya terlalu keras saat bermain Donald Bebek. Beberapa kejadian diakhiri dengan maaf-maafan, beberapa kejadian terlupakan begitu saja, dan beberapa kejadian lainnya masih membekas di keesokan harinya sehingga mereka tidak mau bermain bersama selama beberapa waktu.

Setelah langit biru sudah berubah menjadi oranye, mereka telah kelelahan. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Tak jarang mereka pulang dengan badan kotor atau luka di lutut mereka. Beberapa dari mereka dimarahi oleh ibu masing-masing lalu disuruh cuci kaki yang bersih atau mandi lagi sekalian. Walau begitu, tetap saja ibu-ibu tersebut mengizinkan mereka untuk bermain di sore berikutnya. Dan tetap saja, anak-anak akan pulang dengan baju penuh peluh dan hati yang gembira di sore berikutnya.

No comments:

Post a Comment