Sedikit Ngomongin Sinetron

Barusan, saya bersama Mama dan kakak cewek saya nonton sinetron. Kalau nggak salah judulnya Catatan Hati Seorang Istri. Ceritanya cukup menarik, tentang kehidupan beberapa pasangan suami istri yang tetanggaan. Menurut saya sinetron ini lumayan. Banyak detail yang diperhatikan, seperti foto nikah yang niat atau mobil yang memang terlihat sedang bergerak. Walaupun fotonya mungkin editan, tapi kelihatan kalau ngeditnya niat, kelihatan asli. Saya pernah nonton sinetron tentang ABG, saat salah satu aktor nya nunjukkin foto, foto tersebut kelihatan palsu banget.

Saya memang rewel kalau disuruh nonton sinetron Indonesia. Rasanya nggak bisa nggak komentar. Agak susah bagi saya untuk terus ngikutin sinetron Indonesia. Kadang ceritanya seperti dipaksakan, kadang nggak nyaman dengan backsound yang sangat nggak nyambung, kadang logika nya nggak jalan, kebanyakan 'mbatin', efek yang kurang nyata atau kurang niat, dan lain sebagainya.

Paling gregetan kalau liat sinetron yang pasarnya adalah remaja. Saya nggak tahu, apa memang di Jakarta sekolahannya kayak gitu. Apa benar murid-murid cewek di Jakarta sana kalau ke sekolah rambutnya kayak habis dari salon? Terus ke sekolah dengan dandan full make up?

***

Beberapa saat yang lalu, muncul artikel-artikel mengenai sinetron yang tidak layak tayang di televisi. Di situ terpampang pula alasan-alasan mengapa sinetron-sinetron tersebut tidak layak tayang. Maaf nggak bisa ngasih link karena saya lupa baca di mana, terus saya googling kok nggak ketemu.

Ada beberapa alasan yang saya ingat, diantaranya karena adanya adegan memukul, bullying, berciuman, dan percapakan mengenai aborsi. Alasan tersebut dikhawatirkan akan merusak moral remaja yang menontonnya.

Saya kaget. Menurut saya bukan alasan-alasan itu yang salah, tapi eksekusinya, plotnya, mungkin naskahnya yang salah.

Cerita mengenai bullying yang terjadi di sekolah menurut saya itu bagus sekali untuk dijadikan salah satu inti cerita di sinetron. Mengapa? Karena itu memang terjadi. Saya dulu sempat menyaksikan bagaimana bullying terjadi di sekolah saya. Permasalahannya, banyak sinetron yang gagal menyampaikan pesan kepada penontonnya dengan apik. Dari tema bullying, banyak pesan yang bisa disampaikan. Misalnya, bagaimana korban bullying tetap bertahan karena dia memang tidak salah apa-apa, bagaimana dia tetap berprestasi, dan bagaimana dia menemukan teman-teman yang tetap mendukungnya walaupun ada beberapa orang yang tidak suka kepadanya. Lalu di pihak bullies juga ada cerita yang bisa dikembangkan lagi. Bullies (orang yang nge-bully) tidak selamanya jahat. Bisa saja selanjutnya dia sadar bahwa perbuatannya buruk, dia juga punya masalah yang membuat dia berbuat seperti itu, mungkin nantinya dia bisa yang gantian jadi korban, lalu dia meminta maaf dan bisa berteman dengan korban bullying. Nggak cuma itu, dilihat dari sudut pandang guru BK (Bimbingan Konseling) yang menghadapi murid-murid ini misalnya. Ah, masih banyak pesan moral yang bisa disampaikan dari tema ini kalau eksekusinya bagus.

Lalu tentang aborsi. Itu juga bisa dikemas menjadi apik. Dengan perkacapan yang pesannya jelas, misalnya. Remaja bisa belajar tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, tanggung jawab atas tubuhnya sendiri, dan tanggung jawab atas keputusannya sendiri. Sanksi sosial jelas ada, itu juga bisa disampaikan. Nah, kalau saja ini dikemas dengan anggun dan pintar, pesan moralnya pun akan bisa dicerna oleh penonton.

Kebanyakan reaksi dari sinetron yang sekarang beredar adalah masyarakat ingin tayangan yang mendidik. Sinetron yang mendidik. Yang mendidik itu yang seperti apa? Apakah perbuatan yang baik-baik saja yang ditayangkan? Padahal, menuju baik itu sendiri butuh proses, maka proses lah yang lebih penting untuk ditekankan. Di kehidupan nyata pun akan ditemui perbuatan-perbuatan tercela. Sinetron bisa menjadi cerminan kehidupan nyata yang menjadi media pembelajaran.

Tentang karakter, saya perhatikan, kebanyakan sinetron Indonesia itu terlalu kaku. Kurang fleksibel dalam pengembangan karakternya. Terlalu hitam-putih. Kayaknya kalau dari awal itu baik ya bakal baiiiik terus. Yang jahat bakalan jahaaaat terus dan nggak tobat-tobat. Menurut saya itu kurang manusiawi. Masak dari episode 1 sampai episode 200-sekian karakternya gitu-gitu aja. Nggak berkembang. Padahal pengembangan karakter ini bisa menyampaikan pesan moral yang bagus. Misalnya yang tadinya jahat, lama-kelamaan jadi baik. Yang kelihatan sabaaaar banget ternyata juga bisa marah. Lebih manusiawi kan? Ya pintar-pintarnya yang bikin cerita mau gimana prosesnya. 

Tanpa sadar, saya membandingkan dengan serial barat favorit saya, Glee. Ada yang pernah nonton Glee? Itu bagus lho. Mereka bisa menyampaikan pesan yang terasa dekat dengan pasarnya, yaitu remaja. Isu-isu yang dibawakan juga berkaitan, tentang naksir-naksiran, krisis identitas, bullying, seks, prestasi di sekolah, juga keluarga. Banyak isu yang cukup ekstrim kalau dinilai dari kacamata budaya Indonesia, misalnya tentang preferensi seksual. Saya nggak berniat untuk membandingkan kebudayan yang diusung, karena memang berbeda. Tapi bukan berarti di barat nggak ada yang namanya penolakan sosial. Di serial ini, pesan moral mengenai menjadi diri sendiri dan lain sebagainya, semuanya cukup tersampaikan dengan apik.

Karena saya kurang suka sinetron Indonesia, saya jarang nonton. Tapi kalau ada sinetron baru, saya sempatkan diri untuk nonton sebentar, siapa tahu bagus. Hasilnya keseringan kecewa hahaha. Tapi saya tetap berharap, semoga sinetron di Indonesia semakin bagus lagi. Saya sering nonton series barat, pengen sekali-kali nonton series nya Indonesia, tapi kok...belum nemu yang bagus. Hehehe.

No comments:

Post a Comment