Melepaskan

     "Masih cantik aku," kataku memecah kesunyian.

     Kamu duduk diseberang meja, menyesap secangkir teh panas tanpa melihat ke arahku.

     "Aku lebih menyenangkan," tambahku.

     Aku meletakkan tanganku di atas meja dan berpangku tangan. Aku mengawasi gerak-gerikmu, menunggu reaksi atas pernyataanku.

     "Mungkin aku tidak lebih baik," ucapku, "tapi jelas, aku lebih mempesona."

     Kamu meletakkan cangkir teh ke tatakannya. Dengan matamu yang jernih, kini kamu membalas tatapanku.

     "Apa kamu bisa membuat orang lain bahagia?", tanyamu.

   Tatapanmu membuat aku bersedih. Bukan berarti kamu telah melukaiku, kamu hanya mengemukakan kebenaran, kejujuran, yang sebenarnya terlalu takut aku utarakan. Aku pengecut. Kamu tahu itu, tapi kamu tidak mengatakannya.

     "Sungguh aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu," ucapku lirih.

     Aku menyeruput es coklat dari gelas dingin yang ada di depanku. Rasanya sedikit pahit. Tapi aku suka pahitnya coklat. Selalu berhasil membuatku lebih baik tanpa basa-basi manisnya gula yang berlebihan.

    "Tidak bisakah kamu duluan yang merespon mereka?" tanyaku. "Aku merasa bersalah. Setiap datang kepadamu, aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk hidup, namun setelahnya kamu memberikan alasan mengapa aku harus hidup."

    Kamu kembali menyesap teh panas itu. Kamu tersenyum kepadaku. Kemudian kamu berkata,

    "Aku akan selalu di sini saat kamu membutuhkanku. Dan, ya, kamu selalu membutuhkanku seperti aku yang selalu membutuhkanmu."

    Tatapanmu lurus ke arahku. Tiba-tiba aku melihat diriku di dalam dirimu.

   "Kita adalah satu. Mengerti?", katamu sambil mengedipkan satu mata ke arahku.

    Aku tersenyum. Mengangguk.

    Lalu menghela nafas panjang.

   "Sudahlah," katamu, "Lepaskan..."

No comments:

Post a Comment