Cinta-cintaan (1)


“Perkenalkan, nama saya Renata, biasa dipanggil Re, dan saya- ”
“Jomblo!”
Tawa berderai dari segala penjuru kelas. Kepala yang menoleh ke arahku kini bertambah. Dengan tanganku aku menyenggol lengan Aji. Dia sedang mencoret-coret buku catatannya sambil cengengesan, berusaha menyembunyikan fakta bahwa dialah yang baru saja berteriak di sela-sela perkenalanku.
“..dan saya dari Jogja,” lanjutku. Aku pun segera duduk. Aku tidak terlalu mempermasalahkan status jomblo ku, tapi bukan berarti aku tidak malu menjadi bahan tertawaan gara-gara itu. Hih. Cowok sialan!

***

Saat pengumuman penerimaan mahasiswa dulu, aku iseng mencari-cari nama yang aku kenal yang masuk di jurusan yang sama denganku. Ada beberapa nama yang aku kenal dari SMP dan hanya satu nama dari SMA ku selain aku.
Aji Purnama Putra.
Awalnya aku tidak peduli. Waktu SMA pun kami tidak pernah saling bicara. Aku hanya tahu dia cukup populer di sekolah. Tampan, walaupun preman. Jago olahraga, tapi juga jago berkelahi. Sebenarnya aku nggak terlalu tahu sih, aku nggak ngikutin gosip di sekolah dulu. Yang aku nggak habis pikir, dia tetap menjadi kesayangan guru. Mungkin dia juga nggak bodoh.
Suatu hari saat ospek masih berlangsung, salah seorang anggota kelompokku, Vani, jatuh pingsan ketika jam baris berbaris. Kebetulan aku sedang berada di belakangnya sehingga aku yang menjadi sandarannya ketika terjatuh. Bersama kakak angkatan, aku ikut menemaninya ke ruang kesehatan.
Setelah memberikan keterangan bahwa sebelumnya Vani mengeluh pusing tapi tidak mau melapor, aku pun kembali ke lapangan. Ternyata jam baris berbaris telah usai dan mahasiswa-mahasiswa kembali ke aula di lantai tiga. Ada beberapa jalan untuk menuju aula lantai 3. Lewat tangga di yang berada di bagian barat gedung utama, tangga di tengah-tengah atrium, dan tangga di bagian timur gedung utama. Aku memilih melalui tangga di bagian timur karena tangga tersebut yang jarang dilalui orang. Dengan atribut ospek yang konyol, aku nggak mau terlihat wara-wiri sendirian.
Untuk menuju tangga di bagian timur gedung, aku harus melewati lorong yang bersebelahan dengan gudang. Di depan gudang yang terkunci rapat, terdapat tumpukan kursi dan meja yang sudah tidak terpakai lagi. Saat aku mencapai tengah tangga, terlihat dari atas di salah satu pojok, tersembunyi di balik tumpukan kursi, seseorang sedang duduk selonjoran dengan atribut yang sama denganku.
“Psssst!”, bisikku memanggilnya.
Kepala yang tadinya menunduk, seketika mendongak ke arahku. Wajah kecoklatan dengan rahang yang tampak kuat itu langsung aku kenali.
 “Ngapain kamu di situ?!”, bisikku.
Wajahnya yang tadinya terkejut menjadi tenang. “Oh, kamu.”
Aku mengerutkan kening sambil menatapnya tidak percaya. Bisa-bisanya dia bolos ospek??
“Aku lagi baca komik. Mau ikutan?”
What?!
“Yang bener aja, kita lagi ospek!”, ujarku sambil tetap berbisik, takut jika ada kakak angatan yang mendengar. “Kamu mau dihukum? Kalau dihukum, kamu nggak dapet sertifikat ospek. Kalau nggak dapet sertifikat ospek, kamu nggak bisa lulus!”
“Ck. Bawel,” ucapnya sambil kembali menundukkan kepalanya.
Kenapa sih, cowok ini?
“Pssst!!”, bisikku lagi, memanggilnya.
“Kamu nggak mau malu-maluin nama SMA kita kan?? Ayo ke aula!”, ajakku mulai panik.
Dia tidak lagi mendongak. Dia malah melanjutkan bacaannya seolah-olah aku sudah pergi.
Tiba-tiba saja, tanganku terasa bergerak sendiri. Aku melepaskan kalung papan nama dari kardus dan  melemparkannya.
Papan namaku mendarat tepat di kepalanya. Aji terkejut dan dia pun langsung berdiri. Aku sendiri terkejut kenapa aku melakukannya. Mungkin karena panas. Atau lelah. Atau frustrasi dengan tugas-tugas ospek yang nggak masuk akal. Atau hanya kesal karena aku dibilang bawel.
“HEH!!” bentaknya tiba-tiba.
Aku terkejut karena mendengar suaranya yang lantang. Sebelum aku sempat berkata-kata, terdengar suara dari ujung lorong.
“Siapa itu?”
Seorang kakak angkatan berjalan menuju kami. Kuperhatikan badge di dadanya. Roni. Komisi Disiplin.
Yak. Mampus.
“Kenapa kalian nggak di aula?” ucapnya dengan suara dingin.
Dia menatapku dan Aji bergantian. Aji masih melotot, tapi tidak mengatakan apa-apa.
“A, anu kak,” ucapku terbata. “Tadi saya nganterin Vani ke ruang kesehatan, terus mau balik ke aula.”
Dia melipat tangannya. Tatapannya beralih ke Aji.
“Kamu. Ngapain di situ?”
Aji membuka mulutnya, tapi aku menyelanya.
“Aji tadi ngambilin papan namaku yang jatuh, Kak. Nggak sengaja tadi jatuh ke situ,” ujarku cepat-cepat.
Aji melirikku. Dia masih terdiam.
Kakak angkatan, yang sebenarnya ganteng walaupun serem itu, tetap menatap kami dengan curiga.
“Kenapa papan nama yang kamu kalungin bisa jatuh?”
“Mm..karena tadi saya lepas untuk...mm..untuk ngipasin Vani kak, yang tadi pingsan”, kataku terbata.
“Ya sudah. Segera masuk aula. Sekarang.”
Aku masih terpaku di tempat. Aku tidak percaya bahwa aku lolos semudah itu. Beneran nih? Boleh lari ke aula sekalian?
“Ayo!!”, gertaknya.
Aji dengan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya dan menyusulku. Kami saling lirik dan melanjutkan berjalan ke aula beriringan, mas-mas  KomDis tersebut di belakang kami.
“Nih”, kata Aji sambil mengembalikan papan namaku.
“Maaf ya,” bisikku.
“...”
"Eh, tunggu. Kenapa aku harus minta maaf? Kan kamu yang ngatain aku bawel!"
"..."
“Duh, nggak enak udah bohong...”
"..."
"Untung kita nggak dihukum..."
"..."
“Nggak akan ketahuan kan ya?"
“Ck! Bawel!”
Seketika aku menoleh untuk protes. Tak aku sangka, cowok berparas tampan itu malah cengengesan. Ih! Apaan sih!

***

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mencoba nge-post cerita biar ada desakan untuk dilanjutkan. Mari kita lihat, apakah ini berhasil aku tamatkan atau tidak.
Hahaha.
Kepanjangankah? Kurang deksriptif kah?
Mohon komentarnya ya :D

3 comments:

  1. Lanjut Mbak! Lanjut! Aku menikmati membacanya kok~ :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biasanya aku stuck di tengah-tengah nih Menk, mohon diingatkan. Dan mohon dukungannya~ *macak pilpres*

      Delete
  2. Ayo Mbak Dhita! Go go Mbak Dhita go! *kibas-kibas pom-pom*

    ReplyDelete